Dari Haksa: Untuk Nibiru.


———Pada akhirnya, kamu akan tahu bahwa kamu akan selalu kembali tunduk kepada sang pemilik kunci rumah.



—☆★☆—


Bandung, 4 April 2035.


Halo Bandung. 
Aku menepati janjiku untuk kembali lagi, dan sudah pasti, dengan rasa yang tak lagi sama.

Kota kembang yang penuh dengan kenang.

Sesingkat apapun kamu menulis cerita di kota ini, harumnya tak akan pernah hilang, memorinya tak akan pernah pudar, dan rasanya tak akan pernah punah. 

Di kota ini, aku menemukanmu. 

Si podcaster pemilik mata teduh yang membuat jantungku berdetak sepuluh kali lebih keras. Pemilik suara pengisi podcast yang cocok untuk didengar sebelum tidur, dan aku sendiri tidak menyangka ternyata di balik suara itu adalah, kamu. 

Ini, tentang arti dari kehilangan.

Melukis memori pada malam dingin dan menyusuri gelapnya malam. Memecahkan celengan rindu sebelum akhirnya menabung rasa rindu, lagi. 



 —☆★☆—


 Jakarta, 2029.


Mood yang sedang tidak baik, tapi hari tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. 

Nibiru sangat menyesali dirinya sendiri, mengapa dia harus membeli kopi malam-malam yang akan membuatnya dari sulit tidur, menjadi tidak akan bisa tidur.

Dalam keadaan bete dan bad mood seperti ini, paling enak meringkuk di kasur bersama selimut tebal, apalagi ditemani lagu khas Cigarettes After S**, ah... indah. Namun imajinasi itu harus dipatahkan oleh kenyataan pahit bahwa dia harus bertemu dengan lingkaran di matanya yang semakin hari semakin menggelap. Tentu hal ini akan semakin memperburuk suasana hatinya.

Sudah pukul 22:35 menuju tengah malam. Sekian banyak manusia sudah memutuskan untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Namun, kini Nibiru masih betah terduduk di kursi belajar kamarnya. 

Udara lembab dan aroma tanah yang terkena hujan adalah hal pertama yang gadis bernama Nibiru Ebalerina itu temukan begitu dia sedikit membuka jendela kamarnya. Dia melihat keluar, mengedarkan pandangan pada langit penuh bintang dan halaman rumah di bawah sana. 

Berteman dengan sebotol kopi di tangan, gadis itu sedari tadi masih sibuk membiarkan ibu jarinya bersentuhan pada layar smartphone. Menggesernya ke atas lalu ke bawah berharap ada beberapa lagu galau yang bisa memvalidasi perasaannya saat ini. 

Semilir angin berhembus, membuatnya lantas memejamkan mata. Ingatannya berlari pada kejadian 7 tahun lalu, tepat ketika dia mengambil keputusan terakhir untuk mengatakan kata "putus" kepada jamet SMA Angkasa—mantan brengseknya yang malah berselingkuh dengan TEMANNYA sendiri.

Bukan, Nibiru bukan gagal move on. Dia hanya secara random mengingat sekaligus meratapi kisah cinta perkandasannya yang selalu mengenaskan sejak dulu. 

Lagi-lagi kisah percintaannya berakhir menyedihkan. Lagi-lagi dia mudah percaya dengan ujaran manis yang bisa membuat seluruh makhluk bumi, bahkan makhluk luar angkasa sekalipun bergidik ngeri jika diingat. Yang mungkin akan membuat Pak Jokowi mengira dia orang tulus, penyayang, dan SETIA. pret... ternyata setai, bukan setia. 

Nibiru menengadahkan kepalanya, membiarkan dinginnya angin menerbangkan rambut yang menutupi dahi. Hening mengukung, belum sempat menyelesaikan melamun dengan latar sumpah serapah yang dinarasikan dalam kepalanya, pikirannya lagi-lagi secara random berlari kepada satu keajaiban yang sudah dia cari sejak lama dan akhirnya dia temukan batang hidungnya.

Keajaiban dari seseorang yang membantu memeras sebiji lemon asam menjadi lemonade paling manis sedunia. Seseorang yang datang membantu membuyarkan rasa pahit sebelumnya. 

Namanya, Haksa.

Cakrawala Haksa Abimanyu.

Si podcaster yang dijuluki 'Si alligator pemikat hati innocent girls'.

Si podcaster pemilik rahang tegas, dengan hidung bangir, serta senyum secerah mentari pagi. 

Si podcaster paling menyebalkan yang dulu, malah menjadi teman dari segala temannya. Kalau saja menjadi menyebalkan dianggap sebagai tindakan kriminal, mungkin Haksa sudah membusuk dalam penjara seumur hidup. 

Dan, si podcaster yang membuatnya percaya akan banyak hal, bahwa di dunia ini masih banyak perkara membahagiakan, bahwa kesedihan akan dilalui layaknya badai, bahwa rasanya perpisahan akan selalu ada di setiap ruang pertemuan.

Setelah tibanya perpisahan mereka 2 tahun lalu, pada bulan yang sama dengan awal pertemuan mereka—April, hari-hari Nibiru berlalu tanpa kejadian berarti.

Kehidupan baginya kini terasa seperti aliran air yang entah akan membawanya ke mana. Wajah pria yang belum sempat mengutarakan perasaannya itu berkelibat di dalam pikirannya, menimbulkan sebuah teka-teki apakah mereka akan menepati janjinya untuk bertemu kembali dan melanjutkan kisah yang sempat mendapat jeda koma—tapi dengan versi terbaik dari diri mereka masing-masing? Ah, Sudahlah.

Di titik ini, dia selalu merasa kosong dan tidak memiliki harapan apa pun. Dia sudah lelah dengan kata yang berharap. Memangnya apa, sih, yang mau diharapkan dari manusia? Toh, mau sedekat apa pun kamu dengan seseorang, perpisahan akan tetap terjadi. Sepertinya sudah menjadi hukum alam yang diketahui semua orang.

Namun, walaupun semua orang sudah mengetahui hukum alam tersebut, Nibiru tetap benci untuk membuka mata, Nibiru benci beranjak ke hari esok, Nibiru benci tiap kali tersadar bahwa segalanya tak baik-baik saja.

Dia hanya ingin tidur, berharap ketika dia bangun, Haksa kembali hadir dan tidak ada perpisahan yang terjadi.

Bahkan dalam mimpi terburuknya sekalipun, Nibiru tak pernah membayangkan, dari setiap banyaknya perpisahan yang ada, mengapa kami yang harus dipisahkan?

Memang menyakitkan untuk diakui, tapi benar kata Haksa; Dua orang yang belum selesai sama diri mereka sendiri, enggak akan pernah bisa berhubungan sama orang lain. 

"Lo masih jadi part terbaik dari semua cerita gue, Sa." Ujar Nibiru disertai senyum yang perlahan terbuka.

Ditemani oleh seluruh isi kepala yang berisik, tidak lupa dengan spotify kebanggaannya, tiba-tiba kalender handphonenya mengirimi kabar melalui notifikasi khusus—semua tentang Haksa, bahwa podcast Dari Haksa waktunya untuk update.

Namun kali ini berbeda. Haksa mengatakan di unggahan Twitternya, ia akan meluncurkan 2 buah judul sekaligus pada malam ini. Satu untuk didengar oleh seluruh podcast listenersnya, dan satu lagi ia khususkan untuk seseorang yang sudah dikenang—katanya.

Membuang napas panjang, segenap hati perempuan itu terus mensugesti dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja dan dia tidak perlu mengeluarkan air matanya, lagi.

Dengan judul pertama yang sedikit membuat kerongkongannya tercekat, ragu-ragu, gadis itu memencet tombol play. 


 Dari Haksa: Kehilangan, Melepaskan, dan Mengikhlaskan.
↻   ◁  ||  ▷     

"Halo..." 

Nibiru memejamkan mata ketika suara lembut khas milik Haksa menyapa telinga. Setiap gerakan, setiap ekspresi, setiap helaan napas ketika mengambil rekaman tergambar begitu jelas di dalam imajinasinya.

"Jika kamu ditanya tentang apa yang paling kamu takuti selain Tuhan, kamu akan jawab apa?"

Terdiam sejenak, dia meniti kembali naskah yang diucapkan oleh laki-laki di seberang sana. Dia yakin, dia pernah mendengar pertanyaan yang satu ini—dari pita suara laki-laki yang sama.

"Kehilangan."

"Kehilangan."

Deg.

Nibiru membeku—tak mampu bereaksi ketika dia mengucapkan kalimat yang sama dengan yang lelaki itu ucapkan.

"Dalam satu kehilangan, saya menemukan banyak hal. Saya mempelajari makna setiap kata per kata dari kata kehilangan."

"Namun, saya masih tidak tahu, bagaimana mempelajari cara menghadapi suatu kehilangan dengan amat berani?"

Kedipan mata Nibiru melambat.

Kalau boleh jujur, Nibiru juga sangat merasakan kehilangan. Dia tau betul bagaimana rasa pahit yang lelaki itu rasakan.

"Saya suka bertanya-tanya tentang bagaimana jika kehilangan adalah bahasa. Akan jadi seperti apa rupanya?"

Pertanyaan itu menggantung lama di udara, mencari jawab yang entah kapan akan tiba. 

"Tapi setelah saya pikir lagi, kehilangan lebih seperti sebuah bahasa yang tidak diketahui siapa-siapa. Sebab, sekeras apa pun saya mencari jawabannya, kehilangan selalu jadi bahasa, yang tidak mampu diterjemahkan di mana-mana."

Benar.

Kehilangan akan selalu menjadi bahasa, yang tidak akan pernah bisa diterjemahkan di aplikasi canggih mana pun. 

Namun, menurut Nibiru ada yang lebih buruk dari kehilangan.

"Kehilangan, Melepaskan, dan Mengikhlaskan." 

"Kehilangan, Melepaskan, dan Mengikhlaskan..." 

"Menjalani hari setelah kehilangan, melepaskan, dan mengikhlaskan adalah 3 hal yang paling menakutkan." 

"Jika saja melepaskan dan mengikhlaskan kamu semudah membalik telapak tangan, mungkin sudah dari jauh hari saya lakukan. Tapi pada nyatanya hati ini seakan terbungkam. Tidak perlu ditanya berapa kali diri ini berusaha."

Nibiru menarik napasnya dalam-dalam, seiring matanya terayun mendengar kalimat per kalimat yang terucap. Semudah itu juga bayang-bayang wajah tengil lelaki podcaster itu muncul di benak.

"Saya memang tidak pandai dalam merelakan sebuah kehilangan, namun saya adalah orang yang handal dalam menerima keadaan." 

"Dengan hati yang ikhlas, saya lepaskan tangan kamu. Karena kini, saya sadar, bahwa ikhlas itu bukan tentang menghapus, tapi melepas. Melepaskan suatu hal yang tidak bisa untuk dipertahankan lagi adalah suatu keharusan."

Nibiru memalingkan wajah keluar jendela demi menghalau pedih di rongga dada. Sendu memenuhi ruangan.

Puluhan teori. Ratusan kesimpulan. Jutaan sensasi. Miliaran ingatan. Triliunan perasaan. Semuanya terjebak di dalam satu jiwa yang tertuntut untuk menahan rasa rindu.

Rindu ini, membuat Nibiru kembali ke masa lalu yang jauh. Ketika semuanya belum terlalu rumit. Ketika lelaki itu masih selalu berada di sampingnya; menemaninya; menjadi temannya; di Bandung. 

Hawa, merindukan Bandung yang ada Adamnya.


————————


Sementara di gedung studio podcast, Haksa mengerut heran melihat Baskara—temannya yang sejak mereka keluar dari mobil sampai ke dalam gedung masih memperhatikan naskah dengan teliti sampai menggigit bibir bawahnya—gereget. 

"Lo kenapa, sih?"

"Gue shock." Bahkan Baskara tidak menoleh ke yang bertanya saking sibuknya membolak balikkan kertas naskah. Mereka sedang berjalan menuju ruang recording untuk melanjutkan rekaman yang tadi sempat tertunda karena mereka lapar ingin nasi goreng malam-malam. 

"Bro, ini lo yang ketik sendiri? Perasaan gue udah cek-cek email sampe beler juga gak pernah gue liat naskah kayak gini." Baskara menutup mulutnya—tidak percaya.

"Iya, gue yang ketik sendiri."

Baskara memperlihatkan ekspresi meremehkan yang menyebalkan. "Ah, mana berani lo ngetik kayak gini? Haha, gak percaya gue." 

"Yaudah." Haksa menatap lelaki itu sinis tak menghiraukan. Lelaki itu memang gemasnya minta ditinju pakai batu monolit.

"Masa jari lo yang segede jahe dan mental lo yang segede ketumbar itu berani? Inget, ini didenger sama semua orang, bukan dia doang! Gak bakal nyesel lo?" Baskara tetap bersikukuh tidak percaya. Selepas dari dua tahun Haksa yang selalu gengsi untuk mengirimi pesan 'apa kabar', wajar jika Baskara berjingkrak heboh saat ini.

Haksa melirik sedikit ke Baskara sambil tersenyum miring—merasa keren. Yang setelahnya ia kembali berjalan tanpa menjawab. Baskara tidak tahu saja bahwa ada api yang seperti sedang berkobar hebat di dalam hatinya. 

"WOI, HAKSA! JAWAB GUEEE!!! DARI MANA KEBERANIAN LO ITU MUNCUL?!!" Baskara berlari mengejar Haksa yang tetap terus berjalan. Si Bocah Tengil yang terjebak di raga mahasiswa kepala dua itu selalu berapi-api kalau menyangkut Haksa dan perempuan tulang rusuk sebelah kiri lelaki gengsi itu.

Pertanyaan-pertanyaan heboh terus berlanjut sampai mereka berada di ruang recording yang sudah ada Chiko dan Amel sedang mempersiapkan rekaman.

Haksa duduk di kursi 'singgasana'-nya lalu mengetes mikrofon. Terlihat Chiko yang sudah memberi kode bahwa rekaman akan segera dimulai.

———————



Dari Haksa: Untuk Nibiru.
↻   ◁ || ▷   ↺


"Nibiru itu... selalu cantik dengan caranya sendiri."

Dalam kepalanya, Nibiru pasti sedang menutupi wajah yang memerah jika mendengar pengakuan ini secara langsung.

"Memang sudah banyak sekali perempuan yang menurut saya berkali-kali lipat lebih cantik." Haksa mengambil jeda, sebelum kembali melanjutkan, "Tapi menurut saya, Nibiru beda; Cantiknya beda; Cantiknya, cuma Nibiru yang punya." 

"Jika One direction dan Ed Sheeran punya lagu perfect, maka saya, punya wanita yang mereka sebut dalam lagunya. Perempuan cantik, perempuan indah, perempuan baik, Nibiru Ebalerina."

Haksa membiarkan segaris senyum bermain di wajahnya. Mengagumkan bagaimana ingatan tentang Nibiru ternyata mampu membuatnya segembira ini.

"Menurut riset yang sudah saya pelajari selama 7 tahun, cantiknya Nibiru itu seakan ditambah bumbu rahasia, yang kalau resepnya bocor, semua perempuan pasti rela berlomba untuk mencurinya bersama Plankton yang hampir setiap hari sibuk mengatur strategi mencuri resep kecantikan Nibiru. Tetapi tentu tidak akan berhasil, karena saya akan dengan sigap menginjak si kecil hijau jika berani mencuri kesukaan saya." 

Haksa buru-buru menguasai diri, menahan senyum agar tidak melebar sampai kuping. Ia jadi teringat bagaimana dirinya dulu yang selalu terpaku, berhenti total, alias terpesona ketika melihat senyum yang sepertinya bisa membuat langit senja insecure—kalah indah dengan senyum Nibiru.

Entah sejak kapan persisnya, tetapi Haksa tahu ia telah jatuh hati pada Nibiru. 

Mungkin, dari rasa kagum.

Berawal dari Haksa yang mengagumi setiap unsur kebaikan hati Nibiru.

Semua orang yang berada di dekatnya pasti akan setuju bahwa Nibiru adalah salah satu manusia yang layak Tuhan pertimbangkan untuk berleha-leha di surga-Nya.

Nibiru yang akan selalu sudi menjadi cahaya dan harapan di tengah gelap gulitanya dunia layak diberi lebih banyak cahaya perjalanan hidup yang menyenangkan.

Nibiru yang selalu memberikan pelukan hangat kepada orang-orang terdekatnya layak dipeluk kebahagiaan yang tidak memiliki masa kedaluwarsa.

Nibiru yang selalu mencoba mengerti dengan cara tersenyum yang membuat dunia terasa lebih ramah memang layak diberi ruang khusus di dalam hati.

Lalu, rasa kagumnya berubah menjadi rasa suka. 

Haksa yakin kebanyakan orang akan menjadi lebih menyebalkan ketika marah-marah, tapi Haksa juga yakin kalau Nibiru masuk dalam daftar pengecualiannya.

Marahnya Nibiru itu lucu. 
Bukannya menyebalkan, justru Haksa suka dan ingin melihat perempuan itu marah-marah sampai mengomelinya setiap hari.

Karena sampai puncaknya, ia menyadari bahwa ia telah benar-benar jatuh hati pada perempuan indah—seindah bunga tulip itu.

Namun yang sangat disayangkan, mengapa Nibiru tidak pernah sadar bahwa dirinya mudah sekali untuk dicintai? Rasanya Haksa ingin mengurung perempuan itu agar tidak ada puluhan bahkan ratusan mata yang mencuri pandang pada kesukaannya.

"Saya maunya saya yang menjaga bumbu resep kecantikannya agar tidak dicuri Plankton. Saya maunya saya yang memastikan bahwa senyumnya tidak pernah pudar selama saya belum dipeluk bumi selamanya. Saya maunya... saya yang selalu sama dia." Seraya menyelaraskan helaan napasnya, Haksa menyambung lirih, "Tapi saya bisa apa kalau semesta maunya bukan saya?" 

Haksa menaikkan pandangannya pada Amel sembari terkekeh rendah. Amel mengulas senyum sedih, sedih karena getar tawa Haksa justru terdengar seperti menahan sesak di ulung hati.

"Setelah perpisahan itu, apakah kamu sudah menjatuhkan hatimu untuk orang lain?" 

"Setelah perpisahan itu, apakah kamu kembali merancang mimpi soal masa depan dengan orang barumu? 

"Jika iya, mereka yang sekarang telah mengenal dan terhubung denganmu, saya anggap sebagai salah satu orang beruntung di bumi yang berhasil membuat saya iri sepenuh hati, karena bisa merasakan hangat dan tulus seorang manusia, yang orang-orang menyebutnya malaikat. Sayangnya, tanpa ragu saya terlampau sepakat." 

"Dan lagi, setelah perpisahan itu, apakah rindu pernah mengetuk pintu hatimu untuk kemudian memunculkan keinginan untuk bertemu denganku?" 

Nada suara Haksa yang memberat, menandakan ada berbagai emosi yang mati-matian ia tahan.

"Biar saya beri tahu sesuatu tentang saya." 

"Setelah perpisahan itu, masih kamu yang selalu saya tunggu mengenai kabar. Masih story kamu yang selalu saya tunggu untuk menjadi bahan ketenangan hati bahwa kamu baik-baik saja." 

"Nibiru, bagaimana kabarmu hari ini?" 

"Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan sudah bertahun-tahun pertanyaan itu berakhir saya pendam sendirian. Sempat terbesit untuk mengirimimu pesan di tengah malam," Haksa menjeda kalimatnya lagi. Ia menarik napas sejenak, suaranya tak boleh terdengar menyedihkan. "Namun, saya tidak cukup berani untuk mengganggumu lagi dengan pertanyaan ini."

"Maaf, jika kamu risih saya stalk sosmedmu setiap hari. Sungguh, saya hanya ingin memastikan, apakah kamu baik-baik saja? Tolong beritahu saya jika kamu butuh dibantu."

Haksa hanya berharap, Nibiru tidak sungkan untuk meminta bantuannya. Tidak usah hiraukan bagaimana ini dan itu. Nibiru bisa membagi beban masalahnya tanpa takut Haksa akan memintanya untuk kembali pulang sebagai ganti. Karena bagi Haksa, melihat Nibiru senang sekaligus tenang saja sudah lebih dari kata cukup. 

"Jika saja saya mampu, sudah saya balikkan waktu agar saat itu tak jadi mengenalmu. Jika saja saya mampu, tidak akan saya kejar langkahmu agar kita tidak berjalan berdampingan. Jika saja saya mampu, sudah saya minta berhenti hati saya untuk memikirkan kamu." 

"Kini, tak dapat lagi saya menjadi teduhmu. Tak dapat lagi saya menjadi angin sejukmu. Tak dapat lagi saya menjadi jelly kesukaanmu." 

Keheningan mengambil alih. Haksa memejamkan mata sesaat. Ia membiarkan pikirannya bermain-main ke masa lampau.

"Kalau semisal saya dan kamu ditakdirkan menepati janji kita untuk ketemu lagi—di versi terbaik dari diri kita masing-masing, saya bakal sempatkan diri saya untuk mengirimimu friendly reminder setiap hari." 

"Kamu, jangan selalu maksain diri kamu. Setiap orang punya waktu tempuh yang beda-beda dalam perjalanan menuju keinginannya. Cepat atau lambatnya perjalanan enggak bisa dijadikan patokan dan perbandingan."

"Untuk mencapai kebahagiaan, kamu sudah banyak bekerja. Melakukan ini dan itu, terlalu sibuk mencari dan memberi, sampai lupa kalau kamu sedang terluka."

"Jadi, bagaimana kalau bertahan barang sejenak lagi? Kita rehat sebentar, nanti bangun lagi. Siapkan sepatu terbaik untuk dipakai melangkah dan berlari nantinya. Serta, terima kasih juga saya ucap kepada kamu, karena pada akhirnya, saya selalu berhenti di kamu. Terima kasih karena tidak ada rumah berpulang sebaik kamu. Terima kasih karena pelukmu selalu bisa mengurangi peliknya hidup saya. Terima kasih karena genggamanmu selalu bisa menguatkan langkah saya. Tak ada tempat terindah untuk merebahkan lelah selain sujud dan pundakmu. Terima kasih, ya."

"Kamu, adalah satu dari ribuan yang bisa membuat saya berhenti berlari."

Haksa berharap ia bisa mengucapkan secara langsung. Namun jika itu terlalu muluk, maka biarlah ia merasa cukup hanya dengan mengungkapkan segalanya di sini.

"Jika kamu menemukan rekaman ini, dan berniat mendengarnya, maka bersiaplah untuk ikut merasakan patah. Sebab kamu akan tahu, bahwa membuka dan mengingat memori lama itu benar-benar butuh keberanian. Keberanian untuk tidak menangis, sekaligus tersenyum lalu terbawa perasaan ingin untuk mengulang. Padahal, semesta sudah jelas belum mengizinkan, sekalipun kamu mengemis kesempatan."

"Jadi, selamat menikmati podcast patah hati ini. Saya buatkan khusus untuk kamu. Agar kamu paham bahwa saya yang selalu terlihat baik-baik saja setelah perpisahan kita, terluka begitu dalam sampai kehilangan diri saya sendiri." 

Setetes air matanya mengucur.

"Saya enggak pernah berharap banyak sama Tuhan. Saya cuma mau kamu selalu bahagia. Semoga langit kamu selalu biru, atau enggak, semoga selalu ada pelangi yang bisa buat kamu senang. Dengan atau tanpa saya, saya harap kamu tetap bisa melanjutkan hidup dengan bahagia." 

Haksa menghentikan rekamannya dengan suara bergetar.

"Mari, kita bertemu lagi dengan diri yang lebih baik menurut takdir." 

Dan dengan tayangnya episode podcast ini, Haksa ingin Nibiru terus hidup berbahagia.

Namun, sekarang rasanya Nibiru ingin bertanya, tentang bagaimana caranya menjadi bahagia jika sumber kebahagiaannya justru tidak ada di sampingnya?


Mampukan Nibiru?


—☆★☆—


Bandung, 4 April 2035.


Bandung,

Aku mampu.

Aku sudah menyudahi semuanya.

Perihal menemukan kebahagiaan dan melepas kepergian, semuanya sudah lama berlalu.

Kini, kau kulepaskan.

Tidak ada lagi menunggu dan ditunggu. Tidak ada lagi kehilangan dan melepaskan. Tidak ada lagi penyesalan atas perpisahan yang pernah ada. Karena kini, aku sudah sepenuhnya ikhlas. Mengikhlaskanmu.

Aku hampir lupa bagaimana hujan favorit kita menyanyikan senandungnya. Aku hampir lupa bagaimana jelly kesukaan kita berteriak ingin dimakan semangkuk berdua. Bahkan aku hampir lupa bagaimana rooftop SMA Angkasa menjadi kesukaan kita. Bagiku, apa pun yang kita sukai dulu, sudah tak ada artinya. 

Perasaan yang sudah kamu ungkapkan melalui siaran podcast dengan sangat romantis, aku berterima kasih.

Rindu yang selalu ingin aku tuntaskan tanpa banyak tanya; kapan dan di mana, hal itu sudah tidak terikat dengan diriku lagi.

Karena sejatinya, tidak ada yang bisa disalahkan dari sebuah perpisahan. Manusia harus bisa menerima bahwa pertemuan tak mampu dihindarkan, sama halnya dengan perpisahan, takkan terbantahkan.
Berpisah tidak harus dimengerti dengan sebuah alasan, cukup dimengerti bahwa setiap manusia memiliki ceritanya sendiri.

Kini, aku sudah mengerti, bahwa menomorsatukan orang lain di atas diri sendiri hanya akan meruntuhkan rasa yang sudah lama dibangun. Aku sudah mengerti, bahwa perlu adanya rasa damai dengan diri sendiri supaya ketika kamu jatuh satu sama lain, tidak akan menjadi sesuatu yang berat.

Aku, dan kamu, jika dipaksakan menjadi kita kala itu, hanya akan menumbuhkan luka. Aku yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri karena selalu menomorsatukan orang lain, dan kamu yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri karena enggak peduli dengan label 'Si alligator pemikat hati innocent girls'-mu itu, kalau dipaksakan menjadi satu, endingnya cuma hancur berantakan.

Demi diri sendiri, kita harus berubah.

Terima kasih, karena sudah menyadarkanku akan semua hal itu.

Aku terima semua keputusanmu,
 dan keputusan kita, dengan damai.

Hari ini, aku menjemput diriku pulang. Sudah terlalu jauh harapku tumbuh tak berujung. Barangkali sebentar lagi penantian sampai pada titik indahnya.

So,
Let's meet again in the best version of ourselves. 


Berubah demi diri sendiri.


Karena diri—adalah yang utama.


—☆★☆—


Mampukah mereka?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jogja Pada Saat Itu

Surprise at My 17